Oleh : Anang Anas Azhar
Kompetisi pemilihan kepala daerah untuk propinsi, kabupaten dan kota tahun 2017 mendatang, bakal mewarnai peta politik Indonesia. Salah satu perhelatan yang menarik dan menjadi perhatian ratusan juta mata rakyat Indonesia adalah pilgub DKI. Menarik karena, pilgub DKI merupakan pilgub yang dekat dengan sentral pemerintahan yang letaknya di ibukota negara Jakarta.
Tiga pasangan calon yang mendaftarkan diri ke KPU DKI, mulai memantapkan strategi pemenangan guna memenangi pilgub DKI. Saling serang di media publik, saling mengunggulkan pasangannya, belakangan ini menjadi trend di media darling pasca tiga pasangan calon tersebut mendaftarkan diri. Adu strategi seperti ini merupakan bahagian pencitraan politik, yang mau tidak mau harus dilalui pasangan gubernur/wakil gubernur yang ingin menang menuju DKI I.
Jika kita mengikuti dinamika perpolitikan di Indonesia, ternyata pencitraan menjadi istilah yang akrab di telinga setiap rakyat Indonesia. Istilah ini semakin menguat, ketika kaum akademisi maupun praktisi menjadikannya sebagai kajian-kajian akademik dan diskusi ilmiah dalam berbagai kesempatan. Hampir semua pihak yang berkepentingan dengan opini publik menyadari pentingnya mengelola citra. Ditinjau dari sudut kesejarahan, pencitraan sebagaimana dijelaskan Rendro Dhani, ternyata sudah dilakukan manusia seiring dengan perkembangan peradabannya.
Sejarah membuktikan, bahwa para pemimpin suku primitif misalnya, berkepentingan menjaga reputasi mereka dengan melakukan pengawasan terhadap para pengikutnya melalui penggunaan simbol, kekuatan, hal-hal yang bersifat magis, tabu, atau supranatural. Pada zaman Mesir Kuno, untuk memelihara kesan publik akan keagungan rajanya maka didirikanlah bangunan-bangunan semacam piramida dan spinx dan memposisikan raja sebagai tuhan. Pada masa perkembangan peradaban Yunani dan Romawi, kesadaran akan pentingnya opini publik dan pencitraan juga sangat kuat. Karya seni dan sastra pada masa itu banyak diarahkan untuk menguatkan reputasi raja. Kaum bangsawan istana umumnya adalah ahli-ahli persuasi dan retorika yang luar biasa. Karya pidato Cicero, tulisan bersejarah Julius Caesar, bangunan-bangunan dan ritual saat itu banyak digunakan sebagai media pembentukan opini publik dan pencitraan.
Pencitraan terbentuk berdasarkan informasi yang diterima, baik langsung maupun tidak langsung, misalnya dari media. Pencitraan berasal dari kata citra yang didefenisikan para pakar secara berbeda-beda dan pada hakikatnya sama maknanya. Pemaknaan citra merupakan hal yang abstrak, karena citra tidak dapat diukur secara sistematis meskipun wujudnya dapat dirasakan baik positif maupun negatif. Penerimaan dan tanggapan, baik positif maupun negatif tersebut datang dari publik atau khalayak. Citra terbentuk sebagai akumulasi dari tindakan maupun perilaku individu yang kemudian mengalami suatu proses untuk terbentuknya opini publik yang luas.
Jika kita mengaitkan teks sejarah dengan konteks pencitraan politik saat sekarang, maka erat kaitannya dengan fakta-fakta pencitraan politik yang ada pada pilgubsu DKI Jakarta. Ketiga pasangan calon saat ini sedang diadu strateginya, termasuk mengatur pencitraan politik dari masing-masing pasangan calon. Apakah pencitraan politik yang digunakan pasangan calon tersebut sesuai dengan konteks DKI Jakarta? Jika sesuai, bagaimana pula model pencitraan politik yang sesuai dengan rakyat DKI Jakarta. Dari sinilah, pasangan dalam pilgub DKI Jakarta itu akan memetik kemenangan, karena pemilih sangat bersimpati dengan model pencitraan politik yang dilakukan para calon.
Model Pencitraan
Pilgub DKI Jakarta, setidaknya menjadi barometernya Indonesia. Bukan hanya adu tampang dan ketenaran gelar akademis para kandidat gubernur, tetapi juga para calon memiliki kemampuan dan kapabilitas yang baik untuk memenangi pilgub DKI. Sebagai pilkada yang jadi baromoter, hemat penulis model kampanye para cagub DKI saat ini sedang ditunggu rakyat secara luas. Seberapa unik dan menarik cara mereka melakoni dirinya sebagai cagub, dan seberapa jauh mana pencitraan politik dapat dilakukan dalam menarik simpati rakyat di Jakarta.
Hemat penulis, setidaknya model pencitraan yang dilakukan di DKI Jakarta harus punya strategi khususnya dan bentuk kampanye agar mampu menjual program kepada pemilih. Jakarta sebagai miniaturnya Indonesia, akan lebih laris lagi jika para calon gubernur menjual programnya secara nyata. Misalnya, mensosialisasikan program kerja, meski pada akhirnya akan bermuatan politik dalam konsep-konsep kampanye. Muatan politik dimaksud adalah para pemilih akan memilih calonnya yang dapat menguatkan dirinya dalam pencitraan politik. Muatan bukan hanya pesan politik semata, tetapi jauh dari itu juga menampilkan bentuk kreatifitas tim pengusung dalam mendekati dan mengambil hati rakyat DKI. Ini dikarenakan, Jakarta dianggap sebagai tren setter banyak halnya di Indonesia, hajatan pilgub DKI menjadikan kampanye cagub berpotensi jadi miniatur kesuksesan pilkada di Indonesia.
Gaya kampanye masing-masing calon gubernur, belakangan ini menjadi trend model dalam pencitraan politik. Model kampanye yang diminati saat ini, sangan sederhana. Misalnya, pasangan calon menampilkan program gratis. Setiap kegiatan pasangan calon tersebut, seluruhnya digratiskan. dan ini menjadi bagian pencitraan diri untuk memenangi pilgub. Di masa orde baru, model kampanye ruang terbuka menjadi tren utama dan ini masih digunakan. Melakukan konvoi keliling kota dengan membawa atribut partai atau calon pemimpin di mobil terbuka. Model kampanye ini seringkali menimbulkan kemacetan lalu lintas kota dan rentan tindakan anarkis. Mengumpulkan massa dengan menggelar konser musik artis top. Memberikan sumbangan pada tempat ibadah, panti asuhan, panti jompo, balai desa/kelurahan disertai ceramah atau pidato yang diliput media lokal. Model-model kampanye seperti disebutkan di atas, akhirnya akan membuahkan misi politik untuk mencitrakan sang calon.
Pasangan Ahok-Djarot misalnya, model pencitraan politiknya di hadapan publik bersifat partisipatif. Ahok secara blak-blakan mengumumkan kepada publik dengan apa adanya. Tim Relawan Ahok misalnya, mengadakan acara, nonton bersama, atau makan bersama. Pada acara itu, setiap orang pendukung yang ingin ikut serta wajib partisipatif membayar tiket. Nanti hasil penjualan tiket tersebut akan dijadikan sebagai dana kampanye.
Kemudian, model kampanye yang digunakan Agus Harimurti Yudhoyoni-Murni, cenderung masih mengandalkan kepopuleran SBY sebagai mantan Presiden RI. Model lain yang digunakannya juga menggambarkan bahwa Agus sebagai sosok pejuang, berprestasi dan memiliki kemampuan merekrut anak-anak muda untuk memilihnya. Kondisi inilah yang dimanfaatkan pasangan Agus untuk memenangi pilgub DKI. Lantas bagaimana dengan pasangan Anies Baswedan-Sandiago Uno? Ternyata, pasangan calon ini tidak kalah dengan dua pasangan yang diuraikan di atas. Tingkat ketokohan Anies sebagai mantan Mendiknas RI dan Sandiago sebagai sosok pengusaha menjadi andalan memperkenalkan pasangan ini kepada rakyat.
Adu strategi dan sehebat bagaimanapun pencitraan politik yang dilakukan ketiga pasangan sepenuhnya akan dikembalikan mandatnya kepada rakyat. Rakyatlah yang berkuasa dan menilai ketiga pasangan itu, layak atau tidak memimpin DKI Jakarta untuk lima tahun mendatang. Sebab, pencitraan politik dilakukan untuk memberi gambaran bahwa figur itu benar-benar berbuat kepada rakyat, meski pada akhirnya kata final dari pilihan rakyat DKI Jakarta.
Sekarang, kita tengah menanti model kampanye setiap tim cagub DKI, apakah bisa menampilkan kampanye yang kreatif dan menjadi tren setter baru pada pilkada di Indonesia. Kita berharap, pilgub DKI Jakarta sebagai pilkada pencontohan se Indonesia harus sukses, termasuk sukses dalam mencitrakan figur-figur yang tampil dalam perhelatan pilkada Jakarta 2017 mendatang. **
** Penulis adalah kandidat doktor Komunikasi Islam Pascasarjana UINSU, Dosen FIS UINSU dan Dosen FISIP UMSU **
0 comments:
Post a Comment