Oleh : Anang Anas Azhar
Indonesia termasuk negara subur membangun dunia pendidikan. Lahan subur karena jumlah penduduknya 15% dalam usia produktif masuk perguruan tinggi, termasuk Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS). Pertumbuhan PTN/PTS di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan grafik naik, khususnya perguruan tinggi berbasis swasta yang dikelola yayasan.
Sampai tahun 2014, jumlah PTS/PTS yang ada di Indonesia 3.151 perguruan tinggi. Dari jumlah tersebut 3.068 atau 97% merupakan PTS milik swasta atau yayasan, sedangkan PTN hanya 83 perguruan tinggi atau sekitar 3% dari jumlah perguruan tinggi yang ada. Berdasarkan data Aptisi 2014, dari jumlah itu PTS hanya dapat menampung 2.298.830 atau sebesar 72%, sedangkan PTN menampung 907.323 (20%). Jumlah dosen di PTS mencapai 122.092 orang atau 50% dari jumlah keseluruhan dosen di Indonesia dari total jumlah dosen 273.734 orang.
Menarik untuk ditelusuri berapa jumlah PTS yang bergelar doktor? Jumlah PTS perkembangannya sangat luar biasa. Tetapi sayang, peningkatan kualitasnya justru tidak berbanding lurus jika dibanding dengan PTN. Apa yang salah dari PTS ini, mengapa jumlah dosen-dosennya tidak banyak bergelar doktor? Andaipun ada jumlahnya tidak sama dengan dosen bergelar doktor (S3) di PTN.
Khusus di Propinsi Sumatera Utara saja, mengutip pernyataan Koordinator Kopertis Wilayah I Prof Dr Dian Armanto, Sumut baru memiliki tiga kampus terbaik sesuai ranking, yakni ranking 1 Universitas Panca Budi (Unpab), sedangkan tingkat nasional peringkat 94. Ranking 2 adalah UMA, di tingkat nasional peringkat 158. Sementara UMSU ranking 3, untuk tingkat nasional masuk pada peringkat 176. Pertanyaannya adalah, berapa jumlah dosen yang bertitel doktor? Jumlahnya hanya 4% sampai 5%.
Ada sejumah alasan mengapa kuantitas dosen bergelar doktor minim di PTS. Pertama, transfer keuangan untuk membiayai dosen-dosen yang melanjutkan studi S3 di PTS jumlahnya minim. Pemerintah terkesan masih memandang sebelah mata untuk membiayai pendidikan para dosen di PTS. Meski jumlahnya ada, tetapi tidak sebanding dengan jumlah dosen yang ada di PTS. Sementara jumlah dosen di PTS yang melanjutkan S3 menjadi prioritas pemerintah, meski jumlah PTN lebih sedikit jika dibanding jumlah PTS yang ada.
Kedua, jika pihak yayasan di PTS tidak memiliki anggaran, maka yayasan tidak dapat menyekolahkan para dosennya melanjutkan studi S3. Atau sebaliknya, PTS yang memiliki keuangan cukup menyekolahkan dosennya di jenjang S3, merasa keberatan karena khawatir, jika dosen bersangkutan menamatkan studinya akan diambil PTN untuk pindah. Atas dasar itulah, pihak yayasan sering dirugikan karena sudah mengeluarkan banyak anggaran, namun dosennya keluar tanpa permisi. Tetapi, justu beruntunglah jika dosennya memiliki komitmen tinggi, biasanya akan termotivasi dengan sendirinya meski biaya pendidikannya ditanggung sendiri.
Selama ini, PTS selalu menganggap jika mampu memenuhi kriteria minimal, maka dirasa sudah cukup. Sementara persaingan semakin tinggi. Seharusnya, pihak PTS dapat terus berbenah diri.
Ketiga, kualitas dosennya memang kurang layak untuk sekolah S3. Apalagi dosen yayasan yang sudah menetap mengajar di sebuah PTS usianya banyak di atas 50-an tahun. Inilah yang mempersulit para pengelola yayasan untuk menyekolahkan para dosennya melanjutkan pendidikan S3 yang dibiayai pihak yayasan.
Semestinya, antara yayasan dan pemerintah harus bersinergi untuk melahirkan dosen-dosen bergelar doktor di seluruh PTS. Setidaknya mengimbangi jumlah dosen bergelar yang ada di PTN. Hemat penulis, strateginya harus diputar arahnya yakni, jumlah anggaran pendidikan yang dialokasikan ke PTS kuotanya terus ditambah, jutru bukan sebaliknya mengalami pemotongan seperti yang selama ini terjadi.
Upaya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) untuk melahirkan dosen S3 sering melambat. Persoalannya hanya berkutat pada pengalokasian anggaran pendidikan. Dari data yang ada, minat dosen untuk melanjutkan studi S3 naik, bahkan anggaran yang dialokasikan pemerintah pun sekitar Rp 3 triliun. Tetapi realitas yang terjadi, tetap saja dosen-dosen di PTS hanya "gigit jari", karena jumlah dosennya yang dibiayai pemerintah sangat minim.
Kita berharap pemerintah memberikan perhatian serius untuk menyekolahkan para dosen di PTS untuk mengejar kualitas SDM dosen bertitel S3. Hanya melalui perhatian pemerintahlah dan komitmen belajar para dosen, kualitas SDM di PTS akan terjamin. Kita tidak ingin lagi, PTS disebut perguruan tinggi abal-abal. Begitu mahasiswanya masuk, tapi dosennya tidak berkualitas. Akhirnya mahasiswa yang kuliah pun tidak berkualitas.**
0 comments:
Post a Comment