Oleh : Dr Anang Anas Azhar, MA
GENDERANG Pilgub di Propinsi Sumatera Utara mulai ditabuh. Satu per satu, sosok pemimpin yang bakal memimpin masyarakat Sumut di 33 kabupaten/kota ini bermunculan. Mulai adu strategi, lobi-lobi politik bahkan sampai politik transaksional pun dipraktikkan guna merebut dukungan partai politik.
Meski regulasi dan tahapan pilgubsu belum diumumkan Komisi Pemilihan Umum Sumut, tetapi aksi curi start mengambil simpati masyarakat sudah terjadi sejak tahun 2016 lalu. Para calon yang ingin berkompetisi, bermacam ragam dan strategi mengambil simpati masyarakat. Citra diri dan pencitraan politik muncul guna memperkenalkan sosok pemimpin yang bakal memimpin Sumut lima tahun mendatang. Kendati pencitraan diri sudah berjalan ke tengah-tengah konsituen, namun tidak serta merta sosok yang dikenal masyarakat langsung ditetapkan menjadi calon resmi. Tahapan dan perjalanan menuju pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum pun masih panjang. Salah satunya, sosok yang ingin mencalonkan harus memilih jalur mana. Pertama, apakah jalur independen? Jalur ini tanpa melalui dukungan partai politik secara resmi. Proses dukungannya juga dilakukan melalui dukungan kartu tanda penduduk yang dibubuhkan tandatangan oleh si pemilik KTP.
Kedua, melalui jalur partai politik. Dukungan partai politik menjadi harapan penuh para calon gubernur. Mengapa demikian? Karena dukungan lewat jalur partai politik akan mempermudah calon bersosialisasi sampai ke desa-desa. Calon secara tidak langsung juga sudah memiliki infrastruktur yang jelas sebagai media kampanyenya, sebab kepengurusan partai politik yang ada sampai desa ikut mensosialisasikan calon yang diusung hingga pelosok desa. Jalur partai politik ini menjadi incaran seluruh calon gubernur sekaligus menjad mesin utama untuk pemenangan calon.
Dari beberapa nama calon yang sudah mempublikasi ke media, nama JR Saragih muncul untuk mencalonkan diri. Nama beliau bagi masyarakat Kabupaten Simalungun memang tidak asing lagi, karena ketepatan ia sedang menjabat Bupati Simalungun untuk dua periode, sekaligus menjabat Ketua Partai Demokrat Sumut. Yang menarik dari ucapan beliau ketika mendaftarkan diri ke PAN Sumut, JR ingin maju melalui Demokrat dan PAN. Ia justru menyebut bahwa dirinya tidak akan mendaftarkan diri ke partai politik lain, karena hanya membuang-buang energi saja. Demokrat hanya menggandeng PAN. (waspada, edisi senin (11/9). Satu sisi, harus diakui kedua partai yang didirikan di era reformasi ini, sama-sama memiliki kesamaan visi dan misi, khususnya dalam membangun Sumatera Utara.
Mungkinkah Berkoalisi
Antara Demokrat dan PAN, meski kedua partai politik ini memiliki banyak kesamaan, tetapi dalam ranah tertentu pasti memiliki perbedaan. Salah satu perbedaan yang signifikan adalah dukungan arus bawah (grass root) antara Demokrat-PAN. Demokrat paling disukai kaum muda intelektual dan terpelajar. Bahkan, karena sosok pimpinan Demokrat SBY sebagai presiden ketika itu, menjadikan partai ini menjadi pemenang pemilu tahun 2009. Secara khusus, PAN memiliki basis massa yang fanatik dari Muhammmadiyah. Kemudian dapat dikatakan 85 persen warga dan simpatisan Muhammadiyah menjatuhkan pilihan politiknya kepada PAN setiap pelaksanaan pemilu.
Dalam kacamata politik, koalisi Demokrat-PAN sangat dimungkinkan terjadi. Koalisi ini justru sudah terbangun di sejumlah daerah di Indonesia. Koalisi Demokrat-PAN terbangun, karena selain memiliki kesamaan visi dan misi, koalisi Demokrat-PAN ingin sama-sama memenangkan calon gubernur di setiap pilkada. Belajar dari pilgubsu tahun 2008 lalu, Demokrat-PAN pernah berkoalisi untuk mengusung pasangan calon pada pilgubsu. Saat itu, Abdul Wahab Dalimunthe dan HR Muhammad Syafii yang diusung Demokrat-PAN-PBR. Sesungguhnya dalam konteks dukungan ini, PAN jika dilihat dari matematika politik sangat dirugikan, karena kader yang diusung justru tidak berasal dari kader. Bahkan, Abdul Wahab Dalimunthe dan HR Muhammad Syafii pun, tidak pernah mendaftar ke PAN Sumut. Tapi, karena kewenangan penuh di tangan DPP PAN, akhirnya PAN mencalonkan pasangan Wahab-Raden pada pilgubsu 2008.
Apa yang terjadi saat ini, hemat saya bukan mengulangi peristiwa tidak mengenakkan itu lagi terjadi. Pilgubsu 2018 ini, PAN tidak dapat mencalonkan diri sendiri, PAN hanya memiliki 6 kursi di DPRD Sumut atau setara 6 persen sesuai aturan pencalonan syarat menjadi cagubsu. Nah, andai saja PAN berkoalisi lagi dengan Demokrat yang jumlahnya 14 kursi atau 14 persen, maka sejarah kelam bakal muncul lagi. Mengapa JR Saragih ingin berkoalisi dengan PAN? Secara politis mungkin peta ini sudah terjawab, Demokrat 14 kursi, PAN memiliki 6 kursi. Jumlah ini sudah sempurna dan memenuhi aturan dari syarat pencalonan sebagai calon Gubsu.
Ada beberapa kemungkinan andai saja koalisi Demokrat-PAN terwujud. Pertama, kemungkinan secara politis, PAN akan mendapatkan posisi wakil dari koalisi yang terjadi. Posisi tawarnya, PAN tidak mungkin menduduki posisi cagub. Jika ini terjadi, arus dukungan bawah bakal terpecah. Terpecah karena cagub yang diusung di luar Islam. Isu keagamaan pasti muncul di arus bawah. Secara khusus, saya mengkhawatirkan warga Muhammadiyah yang tidak akan memilih pasangan koalisi Demokrat-PAN. Isu-isu Islam dan non-Islam tidak dapat kita dihindari, khususnya dari kader dan simpatisan Muhammadiyah.
Kedua, koalisi Demokrat-PAN dapat terwujud. Perkiraan ini karena kader PAN yang murni akan dijadikan wakil gubernur. Tapi sayang, untuk periode ini PAN Sumut mengalami krisis kader. Sosok yang dapat dihandalkan dalam pilgubsu hampir tidak ada. Penyebab krisis ini, PAN secara khusus tidak memberdayakan kader-kadernya yang menjabat bupati di daerah untuk dipromosikan menjadi calon. Semboyan politik tanpa gaduh kayaknya diminati para pengurus PAN mulai dari tingkat DPW PAN Sumut sampai DPD PAN di kabupaten/kota. Akibatnya, krisis kader terus menggerus di seluruh struktur kepengurusan PAN.
Ketiga, andai saja jarum politik berubah. Misalnya, pasangan yang dicalonkan Islam-Islam, maka koalisi Demokrat-PAN kini menjadi kuat dan kokoh, atau pasangan cagub/cawagub Islam-non Islam, maka koalisi ini akan besar dan mendapat dukungan yang lebih luas. Setelah PAN menutup pendaftaran calon, ternyata ada empat nama yang mendaftarkan diri, di antaranya Tengku Erry Nuradi, Edy Rahmayadi, Musa Rajekshah dan JR Saragih. Sangat elegan menurut saya, jika pasangan yang diusung Demokrat-PAN berpasangan pelangi.
Di akhir tulisan ini, andai saja koalisi Demokrat-PAN terwujud, setidaknya elit dua partai politik ini di tingkat DPP-nya harus memikirkan pertimbangan rasionalitas keagamaan. Kepentingan yang dibangun bukan saja kepentingan bersama membangun Sumatera Utara. Tetapi lebih jauh itu, calon yang disepakati juga adalah calon yang berasal dari Islam, karena secara statistik Sumatera Utara ini mayoritas memeluk agama Islam. **
** Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Pascasarjana UINSU dan UMSU **
GENDERANG Pilgub di Propinsi Sumatera Utara mulai ditabuh. Satu per satu, sosok pemimpin yang bakal memimpin masyarakat Sumut di 33 kabupaten/kota ini bermunculan. Mulai adu strategi, lobi-lobi politik bahkan sampai politik transaksional pun dipraktikkan guna merebut dukungan partai politik.
Meski regulasi dan tahapan pilgubsu belum diumumkan Komisi Pemilihan Umum Sumut, tetapi aksi curi start mengambil simpati masyarakat sudah terjadi sejak tahun 2016 lalu. Para calon yang ingin berkompetisi, bermacam ragam dan strategi mengambil simpati masyarakat. Citra diri dan pencitraan politik muncul guna memperkenalkan sosok pemimpin yang bakal memimpin Sumut lima tahun mendatang. Kendati pencitraan diri sudah berjalan ke tengah-tengah konsituen, namun tidak serta merta sosok yang dikenal masyarakat langsung ditetapkan menjadi calon resmi. Tahapan dan perjalanan menuju pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum pun masih panjang. Salah satunya, sosok yang ingin mencalonkan harus memilih jalur mana. Pertama, apakah jalur independen? Jalur ini tanpa melalui dukungan partai politik secara resmi. Proses dukungannya juga dilakukan melalui dukungan kartu tanda penduduk yang dibubuhkan tandatangan oleh si pemilik KTP.
Kedua, melalui jalur partai politik. Dukungan partai politik menjadi harapan penuh para calon gubernur. Mengapa demikian? Karena dukungan lewat jalur partai politik akan mempermudah calon bersosialisasi sampai ke desa-desa. Calon secara tidak langsung juga sudah memiliki infrastruktur yang jelas sebagai media kampanyenya, sebab kepengurusan partai politik yang ada sampai desa ikut mensosialisasikan calon yang diusung hingga pelosok desa. Jalur partai politik ini menjadi incaran seluruh calon gubernur sekaligus menjad mesin utama untuk pemenangan calon.
Dari beberapa nama calon yang sudah mempublikasi ke media, nama JR Saragih muncul untuk mencalonkan diri. Nama beliau bagi masyarakat Kabupaten Simalungun memang tidak asing lagi, karena ketepatan ia sedang menjabat Bupati Simalungun untuk dua periode, sekaligus menjabat Ketua Partai Demokrat Sumut. Yang menarik dari ucapan beliau ketika mendaftarkan diri ke PAN Sumut, JR ingin maju melalui Demokrat dan PAN. Ia justru menyebut bahwa dirinya tidak akan mendaftarkan diri ke partai politik lain, karena hanya membuang-buang energi saja. Demokrat hanya menggandeng PAN. (waspada, edisi senin (11/9). Satu sisi, harus diakui kedua partai yang didirikan di era reformasi ini, sama-sama memiliki kesamaan visi dan misi, khususnya dalam membangun Sumatera Utara.
Mungkinkah Berkoalisi
Antara Demokrat dan PAN, meski kedua partai politik ini memiliki banyak kesamaan, tetapi dalam ranah tertentu pasti memiliki perbedaan. Salah satu perbedaan yang signifikan adalah dukungan arus bawah (grass root) antara Demokrat-PAN. Demokrat paling disukai kaum muda intelektual dan terpelajar. Bahkan, karena sosok pimpinan Demokrat SBY sebagai presiden ketika itu, menjadikan partai ini menjadi pemenang pemilu tahun 2009. Secara khusus, PAN memiliki basis massa yang fanatik dari Muhammmadiyah. Kemudian dapat dikatakan 85 persen warga dan simpatisan Muhammadiyah menjatuhkan pilihan politiknya kepada PAN setiap pelaksanaan pemilu.
Dalam kacamata politik, koalisi Demokrat-PAN sangat dimungkinkan terjadi. Koalisi ini justru sudah terbangun di sejumlah daerah di Indonesia. Koalisi Demokrat-PAN terbangun, karena selain memiliki kesamaan visi dan misi, koalisi Demokrat-PAN ingin sama-sama memenangkan calon gubernur di setiap pilkada. Belajar dari pilgubsu tahun 2008 lalu, Demokrat-PAN pernah berkoalisi untuk mengusung pasangan calon pada pilgubsu. Saat itu, Abdul Wahab Dalimunthe dan HR Muhammad Syafii yang diusung Demokrat-PAN-PBR. Sesungguhnya dalam konteks dukungan ini, PAN jika dilihat dari matematika politik sangat dirugikan, karena kader yang diusung justru tidak berasal dari kader. Bahkan, Abdul Wahab Dalimunthe dan HR Muhammad Syafii pun, tidak pernah mendaftar ke PAN Sumut. Tapi, karena kewenangan penuh di tangan DPP PAN, akhirnya PAN mencalonkan pasangan Wahab-Raden pada pilgubsu 2008.
Apa yang terjadi saat ini, hemat saya bukan mengulangi peristiwa tidak mengenakkan itu lagi terjadi. Pilgubsu 2018 ini, PAN tidak dapat mencalonkan diri sendiri, PAN hanya memiliki 6 kursi di DPRD Sumut atau setara 6 persen sesuai aturan pencalonan syarat menjadi cagubsu. Nah, andai saja PAN berkoalisi lagi dengan Demokrat yang jumlahnya 14 kursi atau 14 persen, maka sejarah kelam bakal muncul lagi. Mengapa JR Saragih ingin berkoalisi dengan PAN? Secara politis mungkin peta ini sudah terjawab, Demokrat 14 kursi, PAN memiliki 6 kursi. Jumlah ini sudah sempurna dan memenuhi aturan dari syarat pencalonan sebagai calon Gubsu.
Ada beberapa kemungkinan andai saja koalisi Demokrat-PAN terwujud. Pertama, kemungkinan secara politis, PAN akan mendapatkan posisi wakil dari koalisi yang terjadi. Posisi tawarnya, PAN tidak mungkin menduduki posisi cagub. Jika ini terjadi, arus dukungan bawah bakal terpecah. Terpecah karena cagub yang diusung di luar Islam. Isu keagamaan pasti muncul di arus bawah. Secara khusus, saya mengkhawatirkan warga Muhammadiyah yang tidak akan memilih pasangan koalisi Demokrat-PAN. Isu-isu Islam dan non-Islam tidak dapat kita dihindari, khususnya dari kader dan simpatisan Muhammadiyah.
Kedua, koalisi Demokrat-PAN dapat terwujud. Perkiraan ini karena kader PAN yang murni akan dijadikan wakil gubernur. Tapi sayang, untuk periode ini PAN Sumut mengalami krisis kader. Sosok yang dapat dihandalkan dalam pilgubsu hampir tidak ada. Penyebab krisis ini, PAN secara khusus tidak memberdayakan kader-kadernya yang menjabat bupati di daerah untuk dipromosikan menjadi calon. Semboyan politik tanpa gaduh kayaknya diminati para pengurus PAN mulai dari tingkat DPW PAN Sumut sampai DPD PAN di kabupaten/kota. Akibatnya, krisis kader terus menggerus di seluruh struktur kepengurusan PAN.
Ketiga, andai saja jarum politik berubah. Misalnya, pasangan yang dicalonkan Islam-Islam, maka koalisi Demokrat-PAN kini menjadi kuat dan kokoh, atau pasangan cagub/cawagub Islam-non Islam, maka koalisi ini akan besar dan mendapat dukungan yang lebih luas. Setelah PAN menutup pendaftaran calon, ternyata ada empat nama yang mendaftarkan diri, di antaranya Tengku Erry Nuradi, Edy Rahmayadi, Musa Rajekshah dan JR Saragih. Sangat elegan menurut saya, jika pasangan yang diusung Demokrat-PAN berpasangan pelangi.
Di akhir tulisan ini, andai saja koalisi Demokrat-PAN terwujud, setidaknya elit dua partai politik ini di tingkat DPP-nya harus memikirkan pertimbangan rasionalitas keagamaan. Kepentingan yang dibangun bukan saja kepentingan bersama membangun Sumatera Utara. Tetapi lebih jauh itu, calon yang disepakati juga adalah calon yang berasal dari Islam, karena secara statistik Sumatera Utara ini mayoritas memeluk agama Islam. **
** Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Pascasarjana UINSU dan UMSU **
0 comments:
Post a Comment