Oleh : Anang Anas Azhar
Perlahan, kiblat politik Indonesia bergerak ke ranah lain. Mata rakyat kita, sudah fokus pada tahapan pendaftaran bakal calon legislatif. Partai politik tidak lagi mengurusi kompetisi pasangan calon pilkada di 171 daerah. KPU sebagai penyelenggara pilkada, sudah menetapkan pemenang pasangan calon. Meski sebagian kecil masih menyisakan persoalan hukum, tapi persentasenya tidaklah terlalu besar.
Yang ingin saya katakan, ada yang menarik dari perilaku politisi kita di negeri ini. Fenomena pindah partai politik menjadi trending kita seminggu terakhir ini, baik di televisi maupun media sosial. Mengapa kader parpol loncat pagar? Pertama, karena rasa nyaman. Politisi ingin nyaman dan mencari peluang yang lebih, jika dirinya mencalonkan diri menjadi caleg. Rasa nyaman ini mutlak harus ada.
Kedua, karena koflik internal parpol. Bayangkan, kita melihat ada parpol yang masih konflik menjelang pendaftaran bacalegnya ke KPU. Khawatir konflik tidak mereda, akhirnya sejumlah kader PKS juga banyak yang menarik diri dari pencalegannya. Fenomena ini justru terjadi di DPP PKS. Yang menarik lagi, kader PAN yang mencalegkan diri ramai-ramai mundur di Propinsi Gorontalo. Tapi, sangat gampang elit PAN menyebutnya. "Biarkan pindah ke parpol lain, seribu kader akan masuk ke PAN".
Kasus lain juga terjadi di Sumut. Bupati Tapteng Bakhtiar Ahmad Sibarani, yang dikenal pentolan kader Hanura, akhirnya hijrah ke Nasdem. Bahkan, ia secara terbuka dipakaikan Surya Paloh pakaian kebesaran Nasdem. Tokoh lain, mantan Wagubsu Nurhajizah Marpaung juga hijrah ke Nasdem mengikuti Bakhtiar Ahmad. Saya boleh bilang, tahun politik ini tahunnya Nasdem, karena banyak politisi nasional dan lokal banyak yang hijrah ke Nasdem. Saya yakin, masih banyak lagi kisah nyata ini yang tidak terurai satu per satu dari jemari saya.
Ada juga orang yang tidak berpolitik, eeh tiba-tiba pakaian kebesaran parpol dipakaikan kepadanya. Misalnya, Johan Budi juru bicara kepresidenan dulu dikenal sebagai juru bicara KPK. Apa yang kita urai diatas, sesungguhnya itulah fenomena politik yang datangnya bermusim. Sekarang lagi musim pancaroba pindah parpol, mungkin besok, lagi musimnya pancaroba lain. Pendeknya, tsunami politik dari lain episode akan datang silih berganti.
Saya hanya bilang, pindah parpol itu bukan sikap yang belebihan, apalagi sikap yang dicap perbuatan "haram". Tapi, bukan pula disukai kader parpol yang menerimanya. Sekarang, kader parpol mudah saja untuk pindah, di mana angin keberuntungan datang, maka di situlah ia berlabuh. Sudah saatnya kita menghentikan cemooh kepada para politiisi kita yang pindah parpol. Saya justru ikut mendorong politisi muda kita untuk berkompetisi di partai politik manapun. Semoga sukses !!
Perlahan, kiblat politik Indonesia bergerak ke ranah lain. Mata rakyat kita, sudah fokus pada tahapan pendaftaran bakal calon legislatif. Partai politik tidak lagi mengurusi kompetisi pasangan calon pilkada di 171 daerah. KPU sebagai penyelenggara pilkada, sudah menetapkan pemenang pasangan calon. Meski sebagian kecil masih menyisakan persoalan hukum, tapi persentasenya tidaklah terlalu besar.
Yang ingin saya katakan, ada yang menarik dari perilaku politisi kita di negeri ini. Fenomena pindah partai politik menjadi trending kita seminggu terakhir ini, baik di televisi maupun media sosial. Mengapa kader parpol loncat pagar? Pertama, karena rasa nyaman. Politisi ingin nyaman dan mencari peluang yang lebih, jika dirinya mencalonkan diri menjadi caleg. Rasa nyaman ini mutlak harus ada.
Kedua, karena koflik internal parpol. Bayangkan, kita melihat ada parpol yang masih konflik menjelang pendaftaran bacalegnya ke KPU. Khawatir konflik tidak mereda, akhirnya sejumlah kader PKS juga banyak yang menarik diri dari pencalegannya. Fenomena ini justru terjadi di DPP PKS. Yang menarik lagi, kader PAN yang mencalegkan diri ramai-ramai mundur di Propinsi Gorontalo. Tapi, sangat gampang elit PAN menyebutnya. "Biarkan pindah ke parpol lain, seribu kader akan masuk ke PAN".
Kasus lain juga terjadi di Sumut. Bupati Tapteng Bakhtiar Ahmad Sibarani, yang dikenal pentolan kader Hanura, akhirnya hijrah ke Nasdem. Bahkan, ia secara terbuka dipakaikan Surya Paloh pakaian kebesaran Nasdem. Tokoh lain, mantan Wagubsu Nurhajizah Marpaung juga hijrah ke Nasdem mengikuti Bakhtiar Ahmad. Saya boleh bilang, tahun politik ini tahunnya Nasdem, karena banyak politisi nasional dan lokal banyak yang hijrah ke Nasdem. Saya yakin, masih banyak lagi kisah nyata ini yang tidak terurai satu per satu dari jemari saya.
Ada juga orang yang tidak berpolitik, eeh tiba-tiba pakaian kebesaran parpol dipakaikan kepadanya. Misalnya, Johan Budi juru bicara kepresidenan dulu dikenal sebagai juru bicara KPK. Apa yang kita urai diatas, sesungguhnya itulah fenomena politik yang datangnya bermusim. Sekarang lagi musim pancaroba pindah parpol, mungkin besok, lagi musimnya pancaroba lain. Pendeknya, tsunami politik dari lain episode akan datang silih berganti.
Saya hanya bilang, pindah parpol itu bukan sikap yang belebihan, apalagi sikap yang dicap perbuatan "haram". Tapi, bukan pula disukai kader parpol yang menerimanya. Sekarang, kader parpol mudah saja untuk pindah, di mana angin keberuntungan datang, maka di situlah ia berlabuh. Sudah saatnya kita menghentikan cemooh kepada para politiisi kita yang pindah parpol. Saya justru ikut mendorong politisi muda kita untuk berkompetisi di partai politik manapun. Semoga sukses !!
0 comments:
Post a Comment