By : Anang Anas Azhar
SETIDAKNYA, ada dua kiblat sumber informasi yang diadopsi rakyat kita di tahun politik ini. Pertama, media mainstream. Kedua, media sosial. Dua jenis media ini menjadi asupan utama untuk menerima informasi politik.
Media mainstream, seperti televisi, surat kabar dan radio, seakan ditinggal penggemarnya. Pembaca surat kabar, penonton televisi dan pendengar radio, kurang menarik lagi bagi penggemarnya. Faktanya bisa kita lihat, tiras surat kabar di mana-mana anjlok total, meski di sisi lain sedang menghadapi krisis harga kertas. Di sejumlah televisi, rata-rata ratingnya menurun karena income iklan juga menurun. Jumlah radio yang mengudara, tidak menjadi favorit lagi bagi pendengarnya, karena pendengar sudah beralih ke media lain.
Rakyat kita ternyata ingin instan, rakyat kita ingin cepat menerima dan menyampaikan informasi. Meski beritanya belum pasti kebenarannya. Teknologi informasi semakin berkembang, akhirnya media sosial menjadi favorit rakyat menguasai jagat informasi. Rakyat kita ingin instan, akhirnya seenaknya menyampaikan informasi ke media sosial. Benar atau salah, tidak menjadi ukuran. Tetapi, faktor kecepatan, emosional menjadi pertimbangan utama untuk menyerang seraya menyampaikan informasi.
Informasi via media sosial, justru tidak terawasi lagi. Kenapa demikian? Ada fenomena yang kita lihat belakangan, yakni media mainstream justru sudah dikendalikan pemilik ownernya. Berita yang disajikan, cenderung sudah dalam agenda setting. Pemilik media, dituding tidak lagi independen dalam memberitakan informasi. Fakta seperti inilah, yang mewarnai kenapa rakyat kita lebih dominan masuk seenaknya ke media sosial. Media sosial seakan dipercaya oleh sebagian, tetapi lebih banyak hoaxnya ketimbang yang benar.
Sederetan informasi yang diasup oleh media sosial ini, justru membawa informasi sesat. Sesat karena penyebar informasinya tidak bertanggungjawab, karena media sosial tidak dapat dikendalikan si pemelik medianya. Berbeda dengan media mainstream, surat kabar, televisi dan radio masih dapat dikendalikan pemilik medianya.
Beberapa uraian di atas, menurut saya media sosial kendalinya tidak ada. Media mainstream kendalinya sangat kuat. Jika tidak ditemukan di media sosial, rata-rata bahkan rakyat kita juga maasih mencari media mainstream, mereka ingin membanding keberanarannya. Jadi, dintinya menurut saya, media mainstream masih jadi sumber kebenaran buat kita, bukan sebaliknya dari medsos. Artinya, media mainstream masih unggul jika dibanding media sosial.
Alquran Surat An Nuur : 15 memperngatkan kita : "Ingatlah ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar."
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan berita bohong (hadisul ifki) terhadap Sayyidah Aisyah RA. Berita itu disebarkan dari mulut ke mulut oleh kaum munafik dan sebagian kecil sahabat (Hamnah binti Jahsi, Hasan bin Tsabit, dan Misthah bin Asasah) yang juga terpengaruh. Orang-orang munafik sengaja ingin merusak kehormatan Ummul Mukminin Aisyah RA.
Perangkap ini kurang disadari ketiga sahabat itu dan mereka justru ikut berperan dalam penyebaran informasi yang tidak benar. Mereka tidak menyadari bahwa menyebarkan berita bohong di sisi Allah merupakan pelanggaran serius sampai Allah menurunkan teguran melalui wahyu.
Sayangnya, sebagian mereka menyebarkannya tanpa meneliti dahulu apakah informasi itu layak disebarkan, apakah ada konsekuensi akibat tersebarnya informasi itu, apakah bisa merusak nama baik orang dan memecah-belah keutuhan umat? Nah, media pemecah belah itu salah satunya adalah media sosial. Makanya, kita harus selektif dalam menerima informasi.
Sudah sepantasnyalah kita bijak dalam menyebarkan informasi yang berseliwaran di dunia maya. Keakuratan dan kesahihan informasi merupakan hal penting. Jangan sampai latah menyebarkan informasi yang kita sendiri tidak mengetahui kebenarannya. Kelatahan bukan berarti bebas dari konsekuensi kesalahan dan dosa. Semoga kita terhindar dari hoax hoax dan hoax lagi. **
0 comments:
Post a Comment